tesstifin.id –
_Kok Feeling gitu amat yak?_
_Kenapa Thinking jadi lebay gitu?_
_Katanya Sensing? Kok hafalan payah?
_Intuiting dari Hong Kong? Ga ada kreatif2nya!_
_Beneran Insting? Kok matre gitu?_
Pernahkah mendengar statement yang kurang lebih seperti diatas? Biasanya statement tersebut muncul dari celetukan harian orang2 yang sudah saling tahu Mesin Kecerdasan (MK) masing2. Sesekali juga muncul dari seseorang (biasanya yang sudah dewasa) ketika tahu hasil tes STIFIn nya. Hasil tes STIFIn yang (menurut ybs) gak gue banget. Hehehe.
Lantas apakah hasil tes STIFIn nya salah? Bisa jadi. Namun tidak selalu. Jadinya : belum tentu.
(Nah lho. Bingung kan? Hehehe. Sabaaarr… ini juga mau dijelaskan kok. Hehehe.)
Perilaku keseharian seseorang adalah ranah Fenotip. Dimana berdasarkan rumus
Fenotip = Genetik + Lingkungan,
maka perilaku keseharian seseorang (Fenotip) terpengaruh oleh 2 aspek yaitu bawaan lahir (Genetik) dan pengaruh dari orang-orang terdekat, teman-teman, dan kejadian atau peristiwa-[eristiwa dalam hidupnya (Lingkungan). Dimana aspek lingkungan ternyata 4x lebih besar pengaruhnya dibanding aspek genetik (80% vs 20%). Sementara hasil tes STIFIn adalah sebagian dari aspek Genetik (penjelasan ada di artikel selanjutnya). Sehingga aspek genetik ini sangat mungkin untuk tertutup atau kalah kuat pengaruhnya dengan aspek lingkungan.
Analogi lain yang saya gunakan adalah :
– Fenotip adalah kue yang sudah matang dan siap saji
– Genetik adalah aneka bahan pembuat kue (tepung terigu, gula, keju, mentega, dll)
– Lingkungan adalah resep, takaran, cara memasak, dll
Dengan analogi diatas, bukankah semua kue bisa dibilang bahan dasarnya sama? Lantas kenapa ada kue lumpur, soes, brownies, cake, dll dengan aneka rasa dan tampilan? Atau sama2 cake dengan tampilan yang sama, kenapa rasanya atau lezatnya beda? Ternyata faktor pembedanya adalah resep, takaran, dan cara memasak.
Maka inilah hakekat dari potensi. Semua hal dari aspek genetik pada dasarnya baru berupa potensi. Potensi tidak akan muncul menjadi kompetensi jika tidak di gembleng. Atau analogi yang lain : terigu, keju, mentega terbaik belum tentu jadi kue yang enak jika tidak diikuti dengan resep, takaran, dan cara masak yang tepat.
Maka demikian juga dengan perilaku untuk setiap Mesin Kecerdasan (MK). Ada Sensing yang rajin, detail, teliti, hafalan kuat, dan ada juga Sensing yang malas-malasan, ceroboh, hafalan payah (dan demikian juga dengan MK yang lain ya. Tidak perlu saya contohkan satu persatu, kepanjangan euy. Hehehe). Semuanya bergantung kepada bagaimana lingkungannya selama ini. Ada yang cukup beruntung mendapatkan lingkungan yang tepat atau sesuai dengan MK-nya, ada pula yang berada pada lingkungan yang berbeda atau bahkan bertolak belakang dengan MK-nya.
Maka kompetensi adalah potensi yang masih perlu di gembleng.
atau bisa juga
potensi tidak akan mewujud menjadi kompetensi jika penggemblengan tidak tepat atau bahkan tidak terjadi.
Nah, kembali kepada situasi sehari2 dimana ada seseorang yang belum menunjukkan perilaku atau karakter unggul sesuai dengan MK masing-masing maka artinya yang bersangkutan perlu melakukan evaluasi berkaitan dengan aktifitas harian dan/atau lingkungan sekitarnya. Bisa jadi ybs berada pada lingkungan yang kurang tepat atau bahkan bertolak belakang dengan MK-nya.
Maka sebaiknya kita tepat menempatkan hasil tes STIFIn. Hasil tes STIFIn seseorang pada dasarnya adalah penjelasan potensi genetik, bukan deskripsi tentang perilaku atau sifat yang bersangkutan pada saat melakukan tes STIFIn. Jadi wajar saja jika ada perbedaan antara hasil tes STIFIn seseorang dengan perilaku keseharian ybs. Yang perlu dilakukan adalah selanjutnya apa yang perlu dilakukan dan bagaimana strategi yang paling tepat agar potensi genetik atau keunggulan karakter sesuai MK-nya bisa dimunculkan.
Maka pertanyaan paling penting setelah melakukan tes STIFIn sebenarnya bukanlah “Why” (kenapa kok saya begini, begitu, dst) tapi yang paling penting adalah “What’s Next” (apa langkah selanjutnya setelah tahu MK-nya) dan “How” (bagaimana strategi terbaik agar keunggulan potensi genetiknya bisa muncul).
Apakah “Why” haram untuk dibahas? Tentu saja tidak. Tapi sebaiknya porsinya sedikit saja, secukupnya sekedar untuk menuntaskan rasa ingin tahu. Dan jika masih belum puas, nantikan di artikel selanjutnya
Penulis : Andhika Harya
Sumber : stifin kepanjen malang