Self-Blaming: Jebakan Mesin Kecerdasan Thinking yang Terlalu Keras pada Diri Sendiri
Apa Itu Self-Blaming?
Self-blaming adalah kebiasaan menyalahkan diri sendiri secara berlebihan. Mirip perfeksionis yang nggak pernah puas, bahkan kesalahan kecil pun bisa terasa fatal. Menurut Aaron Beck (1976) dalam teori Cognitive Distortion, self-blame termasuk dalam distorsi berpikir negatif yang bisa memicu stres dan depresi jika dibiarkan.
Kenapa Mesin Kecerdasan Thinking Rawan Self-Blaming?
Menurut konsep STIFIn yang dikembangkan oleh Farid Poniman, mesin Thinking beroperasi di otak kiri atas (Neocortex Left) — pusat logika, analisis, dan sistematika berpikir. Mereka memiliki standar tinggi dan suka berpikir sebab-akibat. Namun, ketika logika tajamnya digunakan untuk mengoreksi diri tanpa belas kasih, muncul pola pikir menyalahkan diri sendiri.
Bukti Ilmiah dari Dunia Psikologi dan Neurosains
- NeuroLeadership Institute (Rock, 2008): area prefrontal cortex Thinking bekerja lebih keras saat menghadapi kesalahan, memicu rasa bersalah berlebih.
- Dr. Brené Brown (University of Houston): membedakan antara guilt (rasa bersalah atas tindakan) dan shame (rasa malu terhadap diri). Thinking sering mencampuradukkan keduanya.
Cara Thinking Mengatasi Self-Blaming
- Ubah fokus dari salah ke solusi. Gunakan logika untuk memperbaiki, bukan menghukum diri sendiri.
- Praktikkan self-compassion. Dr. Kristin Neff menunjukkan bahwa self-compassion meningkatkan performa dan keseimbangan emosional.
- Gunakan prinsip “Enough for Now”. Tidak semua hal harus sempurna.
- Tes STIFIn Sekarang untuk memahami pola Thinking-mu lebih dalam.
Thinking, Kamu Tidak Sendiri
Kamu bukan gagal — kamu hanya sedang belajar dengan standar tinggi. Mesin Thinking diciptakan untuk menemukan kebenaran, bukan untuk menyalahkan diri sendiri.

